Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak Simeulue resmi berdiri sebagai kabupaten otonom pada 12 Oktober 1999.
Dr HT Ahmad Dadek, SH, MH
Sebelum pemakaran dan dalam rangka pemekaran saya dua kali ke Simeulue, tapi selama ini saya belum sempat singgah kesana.
Disana Saya berjalan keliling pulau dengan Kepala PU Aceh Barat saat itu Ir Marwan, ke pantai pantai lewat jalan-jalan di kebun kelapa yang perlu distandarkan.
Pulau kecil di barat Sumatra ini kini menatap masa depan dengan bangga, meski di pundaknya masih tersisa beban panjang perjuangan, keterpencilan, dan harapan yang belum seluruhnya terwujud.
Simeulue bukan hanya nama di peta administratif Aceh.
Simeulue adalah kisah tentang manusia yang hidup di tengah laut lepas — menaklukkan ombak, menantang karang, dan bertahan dengan keteguhan hati yang diwariskan turun-temurun.
Pulau ini pernah terisolasi, tapi tidak pernah kalah; ia kecil di peta, namun besar dalam jiwa, salah satu yang dibanggakan dalam pengurangan risiko bencana adalah Budaya Smong yang diwariskan lewat Nandong dan Buaian.
Mereka menjadi penyelamat saat tsunami di daratan akan tetapi banyak orang di daratan tidak paham ajakan orang Simeulue untuk lahir menjauh laut, Simeulue punya rasa pahit dengan tsunami atau smong pada tahun 1917, karenanya mereka belajar dan diajarkan cara menghadapinya.
Jejak dan Perjalanan
Ketika otonomi daerah disahkan pada 12 Oktober 1999, Simeulue memulai babak baru dalam sejarahnya.
Saat itu sebelum, banyak orang masih menyeberangi laut dengan kapal kayu ke Meulaboh, Sibolga, Teluk Bayur untuk berbelanja paska panen Cengkeh, akhirnya BPPC mencekik Simeulue dengan ganas.
Mereka bukan hanya berbelanja terutama ke Meulaboh tetapi juga menyekolahkan anaknya ke daratan, dalam hal ini orang Simeulue sangat terkenal, mereka tinggal di rumah rumah kost, saudara dan menjadi bagian dari Masjid di Meulaboh (ketika panen mulai tidak menjanjikan). Boat boat Kayu, Doa Bersama, Yulisa, dan lainnya melayani rute ke Simelue tahun 80an dan saat pemekaran Pemerintah Pusat sudah menempatkan fery Meulaboh – Simeulue yang rusak karena tsunami, dan para penumpang dari Simeulue sering kali menjadi obyek perahan tukang becak di Meulaboh.
Saya juga banyak Saudara di Simeulue dari Kampung Air sampai ke Sinabang, keluarga Raja Kamil, mamak Zainal dan lainnya adalah penyambung kami ke Simeulue
Tahun 1980-an Pelabuhan belum sempurna, listrik sering padam, dan jalan darat hanya memotong sebagian kecil dari pulau.
 Namun dalam segala keterbatasan itu, semangat membangun tumbuh seperti pohon kelapa yang kuat di tepi pantai — bergoyang diterpa angin, tapi tidak tumbang.
Generasi pertama pemimpin daerah, guru, nelayan, dan petani menjadi pionir pembangunan lokal. Mereka tidak hanya mengelola tanah, tapi juga menanam harapan untuk masa depan Simeulue.
Zaman Cengkeh dan Masa Keemasan
Sebelum dikenal dengan ikan dan lautnya, Simeulue pernah berjaya karena cengkeh. Pada 1980–an hingga awal 1990–an, setiap rumah punya kebun kecil berisi pohon cengkeh yang menjulang. Musim panen menjadi pesta rakyat.
Kapal kayu dari Sinabang dan Labuhan Bajau bersandar penuh muatan karung-karung harum, dan dari hasil itu lahir rumah-rumah papan terbaik di pulau, biaya sekolah anak-anak, dan tabungan keluarga. Namun, kejayaan itu perlahan surut. Harga cengkeh anjlok, hama menyerang, dan kebun-kebun lama terbengkalai dicekik BPPC.
Masa keemasan itu kini tinggal kenangan — tapi juga pengingat bahwa pulau ini pernah makmur karena kerja keras dan keterampilan rakyatnya sendiri.
Kini, semangat itu perlu dihidupkan kembali dengan cara baru — melalui pertanian modern, agroforestri, dan industri lokal berbasis nilai tambah.
Luka dan Pembelajaran
Tak semua bab sejarah Simeulue berwarna indah. Ada masa-masa di mana kepercayaan publik menurun karena penyalahgunaan kewenangan.
Beberapa pejabat daerah, termasuk satu kepala daerah dan sejumlah kepala dinas, pernah tersandung kasus hukum.
 Hal itu menjadi pengingat bahwa otonomi bukan sekadar hak mengatur diri sendiri, tapi juga tanggung jawab untuk menjaga kejujuran dan kehormatan publik. Namun Simeulue tidak berhenti di situ.
Ia belajar dari kesalahan, menata ulang langkah, dan berupaya menjadikan pemerintahannya lebih transparan, lebih terbuka, dan lebih dekat dengan masyarakat.
Pangan dan Laut: Kekuatan Masa Depan
Dua hal yang akan menentukan masa depan Simeulue adalah tanah dan lautnya — keduanya sumber kehidupan yang jika dikelola dengan bijak, akan membawa kemandirian sejati.
 Pangan dan Kebiasaan Makan yang Berubah
Dulu, orang Simeulue hidup dengan sagu sebagai makanan pokok. Sagu diolah menjadi bubur kental, kue tradisional, atau bahan dasar makanan sehari-hari yang mengenyangkan dan bergizi. Namun sejak masa perdagangan dan migrasi meningkat, masyarakat mulai beralih ke beras sebagai simbol kemajuan dan prestise sosial.
Kini, hampir semua rumah tangga bergantung pada beras impor dari luar pulau — padahal tanah Simeulue masih mampu menanam dan menghasilkan pangan lokal dan padi sudah digalakan.
Di sela perubahan itu, masih ada identitas kuliner yang bertahan yaitu makanan istimewa Simeulue adalah “memek” — bukan dalam arti modern yang keliru, melainkan makanan tradisional berbahan dasar sagu yang nikmat.
Memek menjadi hidangan sakral dalam upacara adat dan hari-hari besar, simbol kebersamaan dan keberlimpahan. Makanan ini seakan mengingatkan: meski zaman berubah, cita rasa lokal tetap tak tergantikan.
Kini saatnya Simeulue kembali mendiversifikasi pangan, menghidupkan kembali sagu, kelapa, pisang, dan hasil bumi lokal.
Pangan bukan hanya soal perut, tapi soal kedaulatan dan kebanggaan.
Bendungan Sigulai dan Cita-cita Sawah Baru
Bendungan Sigulai dibangun dengan harapan menjadi sumber kehidupan baru bagi ribuan petani. Airnya mengalir ke dataran sawah yang bisa menjadikan Simeulue mandiri beras dan sayur, namun ini baru harapan, karena Sigulai belum selesai dan sebagian besar potensinya masih tidur — belum seluruhnya dimanfaatkan karena saluran irigasi, peralatan, dan dukungan teknis belum optimal.
Bila dikelola serius, Sigulai bisa menjadi jantung pangan pulau, bukan sekadar monumen pembangunan.
Laut dan Ekonomi Biru
Laut Simeulue luas dan kaya, Tuna, kerapu, teripang, dan rumput laut tumbuh di perairannya, Namun nelayan masih menghadapi persoalan klasik: kapal kecil, es terbatas, harga fluktuatif, dan pasar yang dikuasai pedagang perantara.
Simeulue perlu menatap ke depan dengan ekonomi bahari modern — membangun pelabuhan ikan terintegrasi, cold storage, dan industri pengolahan hasil laut di tingkat lokal.
Dengan begitu, nelayan tidak hanya menjual hasil tangkapan mentah, tapi juga menjadi pelaku utama rantai nilai maritim.
Jalan Lingkar dan Infrastruktur yang Belum Tuntas
 Jalan lingkar yang dirancang untuk menghubungkan seluruh kecamatan Simeulue adalah mimpi besar yang belum sepenuhnya selesai.
Sebagian sudah beraspal mulus, namun sebagian lain masih rusak, terputus, atau hanya bisa dilalui pada musim kering.
 Padahal, jalan ini bukan hanya urat nadi ekonomi — tapi juga simbol keadilan pembangunan.
Selama masih ada desa yang terisolasi karena jalan rusak, otonomi belum mencapai maknanya yang sejati.
 Pulau yang Tumbuh dengan Ingatan
Simeulue bukan daerah yang cepat berubah, tapi selalu tumbuh dengan kesadaran sejarah. Dari tradisi smong yang menyelamatkan ribuan jiwa saat tsunami, hingga gotong royong yang menjaga kampung-kampung dari abrasi laut — semuanya menjadi kekuatan moral dan sosial yang tak ternilai.
Kini, setelah 26 tahun berdiri, Simeulue dihadapkan pada pertanyaan yang sama seperti saat ia lahir:
Apakah kita ingin menjadi pulau yang bergantung, atau pulau yang berdaulat?
Jawabannya terletak pada cara kita mengelola tanah, laut, dan diri sendiri.
Selamat Ulang Tahun ke-26 Kabupaten Simeulue
 12 Oktober 1999 – 12 Oktober 2025
Dari sagu ke beras, dari cengkeh ke laut, Simeulue tetap tegak dengan hati emasnya — Ate Fulawan di ujung Samudra
